Mendefinisikan Bahagia
“Seperti apakah bahagia itu?” Pertanyaan yang sederhana, namun bukan dengan jawaban yang sederhana. Apakah bahagia itu ketika di usia tiga tahun, selalu mendapatkan mainan yang diinginkan dari orang tua? Atau juga saat hari-hari pertama masuk sekolah dengan semua barang-barang baru? Jawabannya tentu saja iya. Bukankah masa kecil adalah masa yang selalu identik dengan bahagia. Masa kecil adalah bahagia yang selalu kita rindu.
Baiklah. Lupakan itu sejenak. Mari kembali ke masa ini, masa yang sedang diperjuangkan. Segala sesuatunya adalah perjuangan yang begitu sengit. Untuk mendapatkan nilai tugas yang bagus saja kita harus berjuang membaca dan mencari dari berbagai sumber. Itu baru mencari tugas, belum untuk hal-hal lain yang sering kita alami setiap hari. Terlepas dari semua itu, saya pun kembali dihinggapi satu pertanyaan yang sebenarnya. “Apakah saya selalu bahagia sekarang?” Sama seperti pertanyaan sebelumnya, pertanyaan ini terdengar cukup sederhana. Namun, sesederhana itukah menjawabnya? Baiklah. Saya akan mencoba menjawabnya denga cara saya sendiri karena saya juga sering kali merasa bahwa hidup saya benar-benar jauh dari kata yang sederhana itu.
Walaupun berprinsip teguh untuk tidak hidup dari kata orang, kali ini saya amini kata orang, “Hidup ini bak roda. Ada saatnya untuk berada di bawah dan ada saatnya untuk berada di atas.” Begitulah yang saya rasakan ketika waktu telah membawa saya jauh dari masa-masa bahagia yang selalu kurindu itu. Kadang hidup ini memberi banyak pilihan yang tak pernah berpihak pada hidup kita sendiri. Kita benar-benar merasa terlalu capek, depresi, frustrasi, dilema untuk sekedar bertahan pada pilihan-pilihan yang dihadirkan kepada kita. Terlalu banyak energi yang kita buang percuma untuk hal-hal seperti itu. Lantas apakah hidup ini selalu ditemani pilihan-pilihan yang sering memojokan kita pada pusaran ‘di bawah’ itu? Tentunya tidak. Sama seperti roda, tak selamanya kita berada di bawah. Ada saatnya kita menikmati indahnya berada di atas. Saat-saat berada di atas inilah yang selalu saya katakan bahagia yang saya nikamti. Lantas, apakah ketika kita berada di bawah berarti kita tak pernah merasakan bahagia? Di sinilah kita akan menemukan bagaimana bahagia itu sederhana. Sikap kita menyikapi semua peristiwa dalam hidup, entah ketika berada di bawah atau pun di atas, itulah jawaban dari semua pertanyaan tentang bahagia.
Karena seperti pesan Paus Fransiscus dalam salah satu homilinya beberapa tahun silam, menjadi bahagia bukan berarti memiliki langit tanpa badai atau jalan tanpa musibah, atau bekerja tanpa letih, atau hubungan tanpa kekecewaan. Menjadi bahagia adalah mencari kekuatan untuk memaafkan, mencari harapan dalam perjuangan, mencari rasa aman di saat ketakutan, mencari kasih di saat perselisihan. Menjadi bahagia bukan hanya menyimpan senyum, tetapi juga mengolah kesedihan. Bukan hanya mengenang kejayaan, melainkan juga belajar dari kegagalan. Bukan hanya bergembira karena menerima tepuk tangan meriah, tetapi juga bergembira meskipun tak ternama.
Menjadi bahagia adalah mengakui bahwa hidup ini berharga, meskipun banyak tantangan, salah paham dan saat-saat krisis. Menjadi bahagia bukanlah sebuah takdir, yang tak terelakkan, melainkan sebuah kemenangan bagi mereka yang mampu menyongsongnya dengan menjadi diri sendiri.
Semoga apapun jalannya, kita bahagia di jalan kita maisng-masing.
Jakarta, 03.00